After KKN Life~

Rindu makan baso pak jazit yang kedatangannya selalu ditunggu-tunggu

Rindu minum jamu beras kencur di pasar talun

Rindu beli sayur-jajanan pasar-ayam-kerupuk sambil keliling pasar 

Rindu ngangkring di bu bayan demi sate usus

Rindu sore-sore ngeliat view sawah dan gunung :')

Rindu bertegur sapa sama warga sanggrahan

Rindu sholat di masjid Al-ikhlas

Rindu numpang ***** di masjid seberang rumah pak lurah

Rindu dikasih salak dan tomat ama pak heri :')

Rindu kedatangan pak duk tiap hari ke posko, entah sekadar ngomongin suatu hal atau bawain makanan atau bantuin masak dan beberes

Rindu numpang mandi di mba ami

Rindu ngajarin bimbel ke anak-anak yg mesti dibantu google 

Rindu ke TPA

Rindu ke ngentak buat bikin teh dan nukang di talud 

Rindu terjadi ******* di posko

Rindu ngomongin orang

Rindu bangun pagi-pagi sendiri sambil beberes

Rindu masak-masak bareng di posko sambil eksperimen

Rindu cita rasa masakan mb yeni dan ervin

Rindu ngubur sampah bareng fauyi

Rindu ngasih makan ayam tiap pagi

Rindu nyuci piring bareng teguh dan kawan kawan

Rindu nonton jathilan

Rindu ke pasar lembah merapi bareng-bareng dan nyobain bajhingan

Rindu main sama anak-anak

Rindu pergi-pergi tanpa helm buat nyari keperluan

Rindu latian gitar di sofa posko

Rindu ngemil tiap saat di alfamart posko

Rindu cuci muka bareng-bareng tiap malem

Rindu main ke posko temen-temen se-desa

Rindu jaga dhono pas Festival Lembah Merapi

Rindu ke SRC

Rindu minum dan nyetok susu bear brand se-posko

Rindu baca buku pagi-pagi sambil ngeteh po ngopi di Posko

Rindu masak keong dan di makan anak-anak Sanggrahan

Rindu tragedi Ringtone nyanyian medeni tengah malem saat awal-awal KKN, ulahnya si fauyi

Eh nggak kerasa, 47 hari udah berlalu, dan kita semua pergi ke kelurahan untuk perpisahan lalu foto bersama Pak Arief. Setelah itu berpamitan dengan warga Sanggrahan, ditambah melihat tangisan anak-anak yang tak mau ditinggal anak KKN. Setelahnya, kita semua pun pulang ke tempat tinggal masing-masing, udah ngga ada lagi yang namanya rutinitas posko. Kita semua (hanya) perlu mengurus kewajiban pasca-kkn, yakni laporan dan segala remeh-temehnya, lalu pertemuan yang tadinya tiap hari itu berakhir.

 Di kala sinar surya mulai tenggelam, banyak hal yang terjadi di bumi. Manusia sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.

Para pekerja kantoran mulai larut dalam kantuk akibat kelelahan, menuju jalan pulang melalui jalurnya masing-masing. Naik mobil dan motor, siap-siap dengan kemacetan dan suara klakson yang tiada henti.

Naik kendaraan umum, siap-siap untuk berhimpitan dengan orang lain.

Para petani mulai kembali berjalan menuju rumah setelah bekerja penuh lelah seharian penuh di sawah. Mencangkul tanah, membajak sawah, mengairi sawah, menyingkirkan hama-hama, dan segala kegiatan pemeliharaan lain.

Para nelayan mulai siap sedia mempersiapkan segala keperluan untuk menjaring ikan di laut. Berkendara dengan perahu menyusuri gelapnya malam di laut dalam. Berbekal lampu dan jala yang ditebar.

Sementara itu, para penikmat senja menikmati secangkir kopi sembari melihat rona senja yang mulai jingga dan menggelap menjadi malam. Indah sekali hidup.

Tak hanya berwisata ke tempat hits dan banyak spot instagramable, menghilangkan penat juga bisa dilakukan dengan datang ke galeri atau pameran seni, yang kadang kala diselenggarakan di berbagai tempat. Di Jogja ini saja, tiap tahunnya pasti banyak banget penyelenggaraan acara seni yang bisa dihadiri. Khususnya pameran seni, yang biasanya terdiri dari foto, video, desain, lukisan, seni instalasi, patung, dan beragam bentuk karya seni lain. 

Menghibur diri dengan mengamati karya seni rasanya seperti berada di level yang berbeda. Menikmati seni menurutku perlu pemahanan tinggi. Tak hanya melihat sekilas, "oh ini bagus, oh ini unik, oh ini menarik", tapi perlu mengamati lebih dalam. Selain membaca keterangan di setiap karya seni, aku juga mengamati dari segi lainnya. Entah dari teknik pembuatan, warna dan komposisinya, penegasan karakternya, dan makna keseluruhannya, meskipun banyak juga karya yang sifatnya abstrak, namun tetap memikat.

Semenjak awal kuliah, aku bermimpi untuk bisa menjadi relawan mengajar di tempat-tempat terpencil, jauh di luar Pulau Jawa. 

Seiring berjalannya waktu, impian itu tetap tersimpan. Banyak info relawan yang lalu lalang di media sosial, tapi aku terlalu pesimis untuk mencoba satu di antaranya. Selama ini, aku hanya mengamati itu tanpa pernah terpikir untuk mendaftarkan diri.

Namun, pandanganku yang menganggap mengajar atau memberikan ilmu harus melalui program relawan di tempat terpencil lambat laun buyar, lalu berganti. Aku tak lagi begitu mendambakan ke luar Pulau Jawa untuk memberikan sedikit ilmu yang kupunya kepada orang lain. 

Sebagai orang yang memiliki ketertarikan di bidang lingkungan, melalui sebuah perkumpulan yang kuikuti, aku mencoba untuk membuat program pendidikan untuk anak-anak sekolah dasar mengenai pentingnya menjaga lingkungan. Itulah yang menjadi ide utama dalam membawaku bersama teman-teman memulai program ini dengan penuh semangat perjuangan. 

Kami pun mencari beberapa sekolah untuk dijadikan lokasi program ini. Setelah berkeliling di beberapa tempat sembari bertanya-tanya, kami menemukan satu yang menarik, setidaknya menarik bagiku dan salah seorang teman. 

Setelah urusan perizinan telah kami kantongi, kami pun merencanakan program ini dengan memulai sebuah pertanyaan, "bagaimana caranya anak-anak bisa tertarik dengan materi seputar lingkungan hidup ini sampai paham, dan bahkan mau bertindak langsung di kehidupan sehari-hari?" 

Ternyata memang sulit, aku pun tak percaya diri untuk bisa mengubah perilaku mereka yang berkaitan dengan lingkungan ini. Namun setidaknya, aku dan teman-teman ingin mereka mengerti tentang konsep lingkungan hidup ini. Bagaimana hidup kita ini berkaitan dengan lingkungan hidup, lingkungan yang tidak kita jaga pun akan membawa dampak buruk bagi kita sendiri selaku makhluk hidup yang tinggal di dalamnya. Kemudian berangkatlah kami dengan menyiapkan materi presentasi yang (menurut kami saat itu cukup) interaktif dan berwarna-warni, hingga permainan dan hadiah apresiasi bagi anak-anak yang aktif. Katanya, anak-anak itu senang diberi penghargaan, maka kami pun berusaha memberi sebisanya, berhubung keterbatasan biaya pula. 

Kami pun memulai kegiatan dan masuk ke kelas-kelas lalu berkenalan dengan mereka. Ini kali pertamaku masuk ke kelas sebagai seorang "pengajar". Awalnya sungguh deg-degan, kepercayaan diri ini merosot hingga dasar. Aku tak yakin mampu mengurus anak-anak ini di kelas, apalagi memberi pengetahuan yang cukup penting untuk mereka.

Namun begitu berkenalan dan memulai materi, pikiranku seketika berubah, ternyata cukup menyenangkan. Aku merasa bahagia dengan apa yang bisa kuberi untuk mereka, mereka terhibur, begitu pula aku. Meskipun sulit diatur, tapi rasanya mengingatkan kembali akan kenangan masa kecil di bangku sekolah dasar. 

Selama kami melangsungkan kegiatan, mereka terlihat begitu antusias. Saat kami melempar pertanyaan, mereka selalu berusaha mengangkat tangan untuk menjawab, meski lebih sering salah daripada benernya. Ketika permainan berlangsung, mereka begitu tertarik dan berebut untuk menjadi yang pertama bergabung di dalamnya. 

Ternyata menyenangkan, perasaan itu membuatku rindu kembali ke masa itu dan ingin kembali melakukannya, namun sayangnya tidak bisa. Setidaknya aku bersyukur pernah menjadi bagian dari kegiatan itu. Rasanya berharga sekali hingga masih membekas dengan jelas di ingatan, bagaimana suasana saat di dalam kelas bersama mereka semua.

Aku merasa sangat berterima kasih atas kesempatan itu. Mengajar itu memang sulit, namun bagiku itu hal yang amat berharga. Aku menyadari betapa mulianya para pengajar atau guru di luar sana yang sabar, telaten, dan penuh keikhlasan untuk mendidik calon penerus bangsa ini. 

Apabila anda sedang berkunjung ke Pasar Kranggan, Yogyakarta, jangan lupa untuk mampir sebentar merasakan Wedang Tahu ala Ibu Sukardi. Wedang Tahu Ibu Sukardi berada di sebelah barat Pasar Kranggan, di pinggir Jl. Asem Gede dan persis di seberang Warung Gudeg B. Djuminten. Wedang Tahu ini sangat pas di makan saat pagi hari karena dapat menghangatkan tubuh. Satu mangkok Wedang Tahu dengan pemandangan suasana pagi Jogja terasa sangat lengkap untuk menemani pagi anda.

Wedang Tahu Ibu Sukardi memiliki harga yang terjangkau, untuk satu porsi Wedang Tahu seharga 7 ribu rupiah (saat saya ke sana). Rasa yang ditawarkan pun sangat sebanding. Wedang Tahu ini bertekstur lembut dan langsung meleleh di mulut, rasanya pun cukup hambar, namun kuah jahenya terasa manis sehingga ketika dimakan bersamaan baru terasa nikmatnya. 

Wedang Tahu merupakan makanan yang berbahan dasar susu kedelai dengan jahe untuk kuahnya. Cara pembuatannya yaitu susu kedelai dicampur dengan air garam, dan bubuk agar-agar yang dimasak sehingga menjadi kembang tahu atau tahu sutera, yang akan dijadikan sebagai isi dari wedang Tahu. Maka itu makanan ini bertekstur lembut dan langsung meleleh di mulut.

Sebagai penjual kaki lima, Wedang Tahu Ibu Sukardi tidak menyediakan tempat duduk tetap seperti bangku dan meja. Meskipun demikian, Ibu Sukardi menyediakan bangku-bangku maupun tikar untuk tempat duduk para pelanggan yang ingin makan langsung di tempat. Selain itu, pelanggan dapat pula memesan wedang tahu dibungkus untuk dibawa pulang.

Wedang Tahu Ibu Sukardi buka pada pagi hari mulai pukul 07.00-11.00 WIB atau sehabisnya. Tempat ini seringkali ramai oleh pelanggan, apalagi ketika liburan panjang dimana banyak turis lokal yang mencicipi citarasa kehangatan Wedang Jahe Ibu Sukardi. Jadi, jika anda tidak ingin kehabisan datanglah pagi-pagi.

Menarik, unik, dan benar-benar mengundang penasaran, begitulah yang saya rasakan saat membaca Aroma Karsa. Pada awalnya, saya tidak banyak berekspektasi pada buku ini. Saya belum pernah sekalipun membaca karya Dee Lestari, meskipun saya cukup mengenal buku-bukunya. Setelah saya membaca beberapa halaman dari Aroma Karsa, saya benar-benar terpikat. Buku ini sungguh mengasyikkan untuk dibaca, di berbagai kondisi pula. Saya membaca buku ini memang tak selalu saat waktu luang di rumah, namun selagi menunggu antrian, saat di perjalanan, atau ketika bepergian lainnya. Buku yang ketebalannya seperti kamus ini tak akan membosankan dibaca hingga halaman terakhir. Bagi saya, 724 halaman itu terasa kurang. Tidak heran, buku ini menjadi best seller.

Buku Aroma Karsa mengisahkan tentang pencarian Puspa Karsa, bunga legendaris yang tersembunyi di suatu tempat rahasia. Tanaman yang awalnya dikira mitos ini ternyata keberadaannya nyata dan hanya bisa ditemukan melalui aromanya. Rara Prayagung berambisi untuk menemukannya karena bunga ini diyakini dapat mengendalikan dunia. Kisah perjalanan perburuan Puspa Karsa pun dimulai dengan melibatkan Jati Wesi dan Tanaya Suma, dua orang yang memiliki penciuman super. Cerita ini dikemas dengan memadukan unsur mitos, misteri, juga bumbu romansa antara Jati dengan Suma.

Buku fiksi-fantasi ini berhasil menarik perhatian saya sepenuhnya. Tema cerita yang diangkat begitu unik dan jarang ditemukan, yakni mengenai seluk-beluk dunia aroma. Deskripsi beraneka ragam aroma dijabarkan secara detail oleh Dee Lestari. Pembaca dibuat menerka-nerka aroma tersebut melalui pemilihan kata-katanya yang tepat.

Selain itu, buku ini juga mencampurkan unsur sejarah dan budaya lokal, yang membuat saya semakin dibuat terpikat. Pengambilan dua latar cerita, di Kraton Yogyakarta dan Gunung Lawu membuat saya takjub dan berimajinasi akan kebenaran cerita dari tempat itu. Saya terpukau dengan fantasi yang dihadirkan.

Secara keseluruhan, buku ini memang dikemas dengan sangat baik serta alur cerita yang begitu mengalir. Novel fiksi-fantasi ini memang digarap setelah melalui riset mendalam yang membuatnya dapat menggambarkan aroma-aroma dan berbagai istilah lain dengan ciamik. Saya amat berharap novel ini bisa difilmkan seperti karya Dee Lestari lainnya, namun dengan catatan tidak melenceng jauh dari alur cerita dalam buku. Novel Aroma Karsa ini sangat saya rekomendasikan untuk dibaca. Meski buku ini cukup tebal, percayalah anda akan dibuat kecanduan untuk membaca halaman demi halamannya sampai tak terasa telah usai.